Friday 4 February 2011

Adab Dalam Majelis


Majelis Taklim, majelis dzikir dan majelis yang dibaca
didalamnya Kalam salaf sholeh adalah tempat Allah Ta’ala menurunkan rahmat dan
anwar (cahaya). Disanalah hati-hati menjadi khusyuk dan tenang. Disana pula
tempat seorang hamba menimba ilmu dan hikmah yang akan dibawa sebagai bekal di
akhirat, menghadap Allah SWT.
Karena begitu mulia majelis tersebut, maka siapapun ang
hadir disana harus memasang niat yang baik, jangan terbesit sedikitpun niat
yang kotor. Demikian pula, sangat ditekankan agar mereka beradab di majelis
tersebut. Dengan adab atau etika inilah mereka akan mendapatkan asraar
(rahasia) dan anwaar yang sempurna dari majelis tersebut. Keberkahan akan
meliputi mereka dan ilmu akan masuk pada hati mereka.
Adab atau etika memang harus ada pada setiap acara. Setiap
perbuatan dan kelakuan kita, harus senantiasa dihiasi dengan akhlak atau adab
yang baik. Sebab adab inilah yang menjadikannya mulia di hadapan Allah.
Beradab kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada sahabat dan
kepada Auliya serta ulama, harus selalu ada dan tertanam di hati kita. Disini
akan kami nukilkan kalam dari salaf kita tentang adab yang harus dipakai dalam
suatu majelis.
Dalam suatu rauhah (majelis taklim) yang dihadiri oleh
Al-Habib Abdul Bari' bin Syeikh Alaydrus, seorang munsyid membacakan sebuah
qoshidah Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad. Setelah qoshidah itu
selesai dilantunkan, berkata Al-Habib Abdul Bari' bin Syeikh Alaydrus :
Jika ada seseorang yang asyik berbicara pada saat
dilantunkan suatu qosidah yang digubah oleh Salaf, maka hal itu akan berarti
dia merasa yakin bahwa dia punya omongan lebih baik dari kalam Salaf. Atau bisa
berarti dia menolak kalam tersebut.
Begitu juga jika seseorang asyik berbicara pada saat yang
lain lagi membacakan Fatihah atau berdoa, maka hal itu menunjukkan sesungguhnya
dia tidak mau mendapatkan pahala dari Fatihah atau doa yang dibacakan itu.
Didalam atsar dikatakan : Jika ada seseorang asyik berbicara
ketika yang lainnya sedang membaca Al-Qur'an, maka Allah menyuruh seorang
Malaikat dan Malaikat tersebut akan berkata kepada yang lagi asyik berbicara,
"Diamlah wahai musuh Allah," sampai ia tidak bicara lagi. Jika ia
masih tetap berbicara, Malaikat tadi akan berkata kepadanya, "Diamlah
wahai orang yang sungguh dibenci oleh Allah," sampai ia berhenti
berbicara. Jika ia masih juga tetap berbicara, Malaikat itu akan berkata
kepadanya, "Diamlah wahai orang yang sungguh dilaknat oleh Allah."
Kalam Rasulullah SAW bersesuaian dengan Al-Qur'an. Begitu
juga dengan kalam salaf bersesuaian mengikuti kalam Rasulullah SAW. Karena
mereka tidaklah berbicara kecuali dengan ijin robbani. Begitulah ilmu tidak
akan bisa didapatkan kecuali dengan adab, maka marilah kita menjaga adab dalam
majelis.
[Diambil dari kitab Bahjatun Nufus fi kalam Al-Habib
Abdul Bari' bin Syeikh Alaydrus, disusun oleh Al-Habib Muhammad bin Saggaf bin
Zain Al-Hadi, hal. 84-85]
Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Shohib Maulid Simtud
Durar) berkata :
“ Di zaman ini, hanya ada sedikit orang yang menunjukkan
adab luhur dalam majelis. Bahkan dalam majelis ilmu sekalipun tidak kalian
temukan adab yang sempurna. Sesungguhnya rumah memiliki hak, pemilik rumah
memiliki hak, teman duduk memiliki hak, dan hak itu menjadi semakin besar
sewaktu duduk di hadapan orang yang berilmu. Kau lihat seseorang membentak
saudaranya karena kesalahan yang sangat kecil, seakan-akan ia adalah budaknya.
Padahal makhluk itu adalah tanggungan Allah. Kakek mereka adalah Adam dan Adam
berasal dari tanah, lalu apa yang akan ia sombongkan !! “
“ Setiap majelis perlu adab. Rumah perlu adab, makan perlu
adab, tuan rumah perlu adab, teman duduk juga perlu adab. Kami sama sekali
tidak berminat pada majelis kaum awam, karena majelis itu tidak diselenggarakan
dengan adab yang mulia. Jika ada seseorang yang datang mereka berdiri dan
bersalaman, atau menghentikan bacaan, padahal orang itu datang tidak lain untuk
mendengarkan. Jika datang seorang lelaki yang terpandang mereka bangun dan
berkata, “Silahkan, kemari. Dan yang lain berkata, “Silahkan, kemari. Orang yang
duduk di sampingmu mengipasimu. “
“ Gerakan-gerakan mereka dan kegaduhan yang mereka timbulkan
menghapus keberkahan majelis. Keberkahan majelis bisa diharapkan apabila yang
hadir beradab dan duduk di tempat yang mudah mereka capai. Jadi, keberkahan
majelis itu intinya adalah adab. Sedang adab dan pengagungan (ta’dim) letaknya
di hati. “
“ Kadang kala aku memaksakan diri untuk berbicara tentang
berbagai hal yang sebenarnya tidak pantas dibicarakan di majelisku; sebenarnya
aku sama sekali tidak ingin membicarakannya. Namun, demi mengambil hati
orang-orang yang duduk bersamaku, maka kupaksakan diriku untuk berbuat
demikian. “
Referensi: Kunuzus Sa'adatil Abadiah, oleh :Habib
Muhsin bin Abdullah Assegaf.
Sayyidina Al-Habib Muhammad bin Hadi Assaggaf berkata di suatu mejelis beliau pada malam
Rabu, 15 Rajab 1346 H:
Jika kamu sekalian hadir di suatu majlis dan di majlis itu
dihadiri oleh salah seorang sholihin, maka jagalah adab. Dan jadilah kamu
seperti orang mati di hadapan orang yang akan memandikannya, agar engkau tidak
tercegah dari mendapatkan kebajikan dan berkah.
Diceritakan bahwa suatu saat ada majlis di rumah Al-Habib
Hasan bin Sholeh Al-Bahr yang dihadiri oleh para ulama besar dari Alawiyyin
seperti Al-Habib Abdullah bin Husin Bin Thohir, Al-Habib Abdullah bin Husin
Bilfagih dan Al-Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya. Pada saat itu timbul suatu
permasalahan ilmiyyah dan fiqhiyyah. Masing-masing orang mengeluarkan
pendapatnya sampai terjadi khilaf dan perdebatan di antara mereka. Kecuali
Al-Habib Abdullah bin Husin Bilfaqih yang terdiam tidak mengucap satu kalimat
pun disebabkan menghormati majlis tersebut.
Setelah selesai majlis dan yang hadir sudah keluar semua,
seseorang mendatangi Al-Habib Abdullah bin Husin Bilfaqih sambil mencelanya dan
berkata,
"Kenapa anda diam saja di majlis itu sedangkan saat itu
terjadi perbincangan mengenai masalah fiqhiyyah dan ilmiyyah?"
Beliau pun menjawab,
"Sesungguhnya di majlis tadi tercurahkan asraar, anwaar
dan istimdaad (anugerah-anugerah), khairaat (kebaikan) dan barokaat
(keberkahan), bukanlah suatu majlis khilafiyah dan perdebatan. Kalau engkau
ingin tahu pendapatku tentang masalah tadi maka berkumpullah kamu sekalian dan
akan aku jelaskan dalil-dalil dan ta'lil (hujjah), kesalahan dan kebenaran.
Sesungguhnya majlis di tempat Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr tidak sebaiknya
engkau men-taqrir suatu masalah (khilafiyah dan perdebatan). Akan tetapi yang
baik adalah taaddub (beradab)."
Berkata Sayyidina Al-Imam Al-Arif billah Al-Habib Alwi bin
Muhammad bin Thohir Al-Haddad ra :
Pada suatu waktu Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi hadir
di satu majlis yang dihadiri oleh para tokoh auliya dan ulama pada zamannya. Di
antara yang hadir disitu adalah Al-Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya. Berkata
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi :
"Pada saat itu terlintas di hatiku ingin berbicara di
majlis itu atau berceramah dengan niat dakwah ilallah."
Kemudian aku menoleh dan kulihat disitu ada Al-Habib
Abubakar bin Umar Bin Yahya, maka aku berkata pada diriku :
"Bagaimana aku berani berbicara sedangkan Al-Habib
Abubakar bin Umar hadir di majlis ini. Lalu aku memohon kepada Allah agar
apa-apa yang aku niatkan untuk memberi manfaat kepada hadirin disampaikan
kepada mereka yang hadir."
Selanjutnya Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad berkata :
"Ini semua adalah karena sifat tawadhu' dari Al-Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi terhadap Al-Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya
sehingga beliau mengurungkan keinginannya untuk berbicara di majlis itu."
Ketika selesai dari majlis tersebut, berkata Al-Habib
Abubakar bin umar Bin Yahya kepada Al-Habib Muhammad bin Idrus :
"Ya Muhammad, apa-apa yang engkau niatkan untuk memberi
manfaat dan nasehat di majlis tadi telah disampaikan oleh Allah ke dalam hati
para hadirin."
[Diambil dari kitab Al-Fawaaid Ad-Durriyah min
Al-Anfaas Al-Haddadiyah, kumpulan kalam Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir
Al-Haddad]
Kalam Al-Habib Muhammad bin Abdullah Alaydrus
“ Wahai saudaraku, beradablah ketika mendengarkan
pembicaraan. Janganlah sekali-kali kamu hentikan atau dan sangkal ucapan
seseorang di hadapan khalayak ramai. Perbuatan itu sangat buruk. Jika temanmu
salah, dan kesalahannya tidak membahayakan, maka maafkanlah. Jangan kamu
tunjukkan kesalahannya di hadapan orang banyak. Jika ingin menegur
kesalahannya, tunggulah hingga tinggal kalian berdua. Jika kesalahannya adalah
kesalahan yang wajib dikoreksi di hadapan orang banyak agar tidak mempengaruhi
pikiran mereka, maka lakukanlah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang,
jangan dengan kasar. Jika teguran itu membuatnya malu, maka itu adalah salahnya
sendiri. Dia yang berbuat, (dia harus berani menanggung akibatnya “).
“ Jika kamu seorang pemimpin dan pemuka masyarakat,
bicaralah dengan lemah lembut, tenagkanlah nafs-mu, jauhilah sikap ‘ujub dan
tajjabur (sombong). Sebab, sikap itu akan memadamkan cahaya dan kilauan ilmumu.
Jika kamu ingin selalu senang (rohah), memperoleh pujian dan pahala, maka
jangan debat lawan bicaramu, dan jangan mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan
kaum sholihin. Jika ucapanmu disangkal, tetaplah berteguh hati, jangan
mengeluh. Jika kamu temui hal-hal yang tidak kamu sukai, maka tanggunglah
perasaan itu dan jangan membalas, karena yang demikian itu adalah sikap
orang-orang yang teguh dan suka ber-riyadhoh; sikap kaum sholihin yang kuat. Betapa
banyak ucapan yang jawabannya adalah diam.” Seorang penyair berkata:
Tidak semua ucapan perlu jawaban,
tuk ucapan yang kau benci, diamlah jawabnya
Diambil dari kitab Memahami Hawa Nafsu, Sayid Muhammad
bin Abdullah Alaydrus, hal. 31

0 comments:

Post a Comment